Total Tayangan Halaman

Jumat, 14 Januari 2011

Asuhan Keperawatan Dengan Klien Isolasi Sosial

Isolasi adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak ( Carpenito, 1998 )
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Towsend,1998)
Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan prestasi atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanivestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain (DepKes, 1998).
Perilaku menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain. (Rawlins, 1993, dikutip Budi Anna Keliat).

RENTANG RESPONS SOSIAL

Gangguan hubungan sosial terdiri atas :
Isolasi Sosial adalah kondisi kesepian yang diekspresikan oleh individu dan dirasakan sebagai hal yang ditimbulkan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan negatif yang mengancam. Dengan karakteristik : tinggal sendiri dalam ruangan, ketidakmampuan untuk berkomunikasi, menarik diri, kurangnya kontak mata. Ketidak sesuaian atau ketidakmatangan minat dan aktivitas dengan perkembangan atau terhadap usia. Preokupasi dengan pikirannya sendiri, pengulangan, tindakan yang tidak bermakna. Mengekspresikan perasaan penolakan atau kesepian yang ditimbulkan oleh orang lain. Mengalami perasaan yang berbeda dengan orang lain, merasa tidak aman ditengah orang banyak. (Mary C. Townsend, Diagnose Kep. Psikiatri, 1998; hal 252).
Kerusakan Interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seorang individu berpartisipasi dalam suatu kualitas yang tidak cukup atau berlebihan atau kualitas interaksi sosial yang tidak efektif, dengan karakteristik :
Menyatakan secara verbal atau menampakkan ketidaknyamanan dalam situasi-situasi sosial. Menyatakan secara verbal atau menampakkan ketidakmampuan untuk menerima atau mengkomunikasikan kepuasan rasa memiliki, perhatian, minat, atau membagi cerita. Tampak menggunakan perilaku interaksi sosial yang tidak berhasil. Disfungsi interaksi dengan rekan sebaya, keluarga atau orang lain. Penggunaan proyeksi yang berlebihan tidak menerima tanggung jawab atas perilakunya sendiri. Manipulasi verbal. Ketidakmampuan menunda kepuasan. (Mary C. Townsend, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, 1998; hal 226).
FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESIPITASI
Faktor predisposisi terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan perkembangan yang dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu takut salah, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan meresa tertekan.
Sedangkan faktor presipitasi dari faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas keluarga dan berpisah karena meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah dengan orang yang terdekat atau kegagalan orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam keluarga sehingga menyebabkan klien berespons menghindar dengan menarik diri dari lingkungan (Stuart and Sundeen, 1995).
TANDA DAN GEJALA
Data Subjektif :
Sukar didapati jika klien menolak berkomunikasi. Beberapa data subjektif adalah menjawab pertanyaan dengan singkat, seperti kata-kata “tidak “, “iya”, “tidak tahu”.
Data Objektif :
Observasi yang dilakukan pada klien akan ditemukan :
  • Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
  • Menghindari orang lain (menyendiri), klien nampak memisahkan diri dari orang lain, misalnya pada saat makan.
  • Komunikasi kurang / tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain / perawat.
  • Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
  • Berdiam diri di kamar / tempat terpisah. Klien kurang mobilitasnya.
  • Menolak berhubungan dengan orang lain. Klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
  • Tidak melakukan kegiatan sehari-hari. Artinya perawatan diri dan kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
  • Posisi janin pada saat tidur.
KARAKTERISTIK PERILAKU
• Gangguan pola makan : tidak nafsu makan atau makan berlebihan.
• Berat badan menurun atau meningkat secara drastis.
• Kemunduran secara fisik.
• Tidur berlebihan.
• Tinggal di tempat tidur dalam waktu yang lama.
• Banyak tidur siang.
• Kurang bergairah.
• Tidak memperdulikan lingkungan.
• Kegiatan menurun.
• Immobilisasai.
• Mondar-mandir (sikap mematung, melakukan gerakan berulang).
• Keinginan seksual menurun.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL
I. Deskripsi
Tanggapan atau deskripsi tentang isolasi yaitu suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (towsend, 1998).
Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang lain.
II. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi, penilaian stressor , suberkoping yang dimiliki klien. Setiap melakukan pengajian ,tulis tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi pengkajian meliputi :
  1. Identitas Klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama, tangggal
MRS , informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien.
  1. Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain ,tidak melakukan kegiatan sehari – hari , dependen
  1. Faktor predisposisi
kehilangan , perpisahan , penolakan orang tua ,harapan orang tua yang tidak realistis ,kegagalan / frustasi berulang , tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan dicerai suami , putus sekolah ,PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan , tituduh kkn, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
  1. d.         Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan keluhafisik yang dialami oleh klien.
  1. e.         Aspek Psikososial
    1. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
    2. Konsep diri
a)      citra tubuh :
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi.
Menolak penjelasan perubahan tubuh , persepsi negatip tentang tubuh .
Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang , mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.
b)      Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan .
c)      Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses menua , putus sekolah, PHK.
d)      Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
e)      Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri , gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan kurang percaya diri.
  1. Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubunga social
dengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelempok yang diikuti dalam
masyarakat.
  1. Keyakinan klien terhadap Tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual)
  2. f.        Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata , kurang dapat        memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan            dengan orang lain , Adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam    hidup.
  1. g.       Kebutuhan persiapan pulang.
1)                    Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
2)                   Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC,   membersikan dan merapikan pakaian.
3)                    Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
4)                    Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan
diluar rumah
5)                    Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
  1. h.       Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada orang orang lain( lebih sering menggunakan koping menarik diri)
  1. i.        Aspek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT,           Psikomotor, therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.
III. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah identifikasi atau penilaian pola respons baik aktual maupun potensial (Stuart and Sundeen, 1995)
Masalah keperawatan yang sering muncul yang dapat disimpulkan dari pengkajian adalah sebagai berikut :
  1. Isolasi sosial : menarik diri
  2. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
  3. Resiko perubahan sensori persepsi
  4. Koping individu yang efektif sampai dengan ketergantungan pada orang lain
  5. Gangguan komunikasi verbal, kurang komunikasi verbal.
  6. Intoleransi aktifitas.
  7. Kekerasan resiko tinggi.
IV. Pohon Masalah
Diagnosa Keperawatan
  1. Resiko perubahan sensori persepsi berhubungan dengan menarik diri.
  2. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
  3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak efektifnya koping individu : koping defensif.
Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa : Resiko perubahan sensori persepsi berhubungan dengan menarik diri.
Tujuan umum :
Tidak terjadi perubahan sensori persepsi.
Tujuan khusus : klien dapat
  1. Membina hubungan saling percaya.
  2. Menyebutkan penyebab menarik diri.
  3. Menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain.
  4. Melakukan hubungan sosial secara bertahap, klien – perawat, klien – kelompok, klien – keluarga.
  1. Mengungkapkan perasaan setelah berhubungan dengan orang lain.
  1. Memberdayakan sistem pendukung.
  2. Menggunakan obat dengan tepat dan benar.
Tindakan keperawatan :
1.1       Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas pada setiap pertemuan (topik yang akan dibicarakan, tempat berbicara, waktu bicara).
1.2       Berikan perhatian dan penghargaan : temani klien waktu tidak menjawab, katakan “saya akan duduk disamping anda, jika ingin mengatakan sesuatu saya siap mendengarkan”. Jika klien menatap wajah perawat katakan “ada yang ingin anda katakan?”.
1.3       Dengarkan klien dengan empati : berikan kesempatan bicara (jangan di buru-buru), tunjukkan perawat mengikuti pembicaraan klien.
2.1.      Bicara dengan klien penyebab tidak mau bergaul dengan orang lain.
2.2       Diskusikan akibat yang dirasakan dari menarik diri.
3.1.      Diskusikan keuntungan bergaul dengan orang lain.
3.1       Bantu klien mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki klien untuk bergaul.
4.1       Lakukan interaksi sering dan singkat dengan klien (jika mungkin perawat yang sama).
4.2       Motivasi / temani klien untuk berinteraksi / berkenalan dengan klien / perawat lain. beri contoh cara berkenalan.
4.3       Tingkatkan interaksi klien secara bertahap (satu klien, dua klien, satu perawat, dua perawat, dan seterusnya).
4.4       Libatkan klien dalam terapi aktivitas kelompok, sosialisasi.
4.5       Bantu klien melakukan aktivitas hidup sehari-hari dengan interaksi.
4.6       Fasilitas hubungan klien dengan keluarga secara terapeutik.
5.1       Diskusikan dengan klien setiap selesai interaksi/kegiatan.
5.2       Beri pujian akan keberhasilan klien.
Evaluasi
Kriteria evaluasi :
1.1       Ekspresi wajah bersahabat, menunjukan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
2.1       Klien dapat dapat menyebutkan penyebab menarik diri berasal dari diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
3.1       Klien dapat menyebutkan keuntungan dan kerugian dalam berhubungan dengan orang lain.
4.1       Klien dapat mendemonstrasikan hubungan sosial secara bertahap : K – P, K – P – K, K – P – Kel, K – P – Kelompok.
5.1       Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain untuk diri sendiri dan orang lain.
6.1       Keluarga dapat berpartisipasi dalam merawat klien menarik diri.
Daftar Pustaka
Townsend M. C,  (1998). Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri, Pedoman untuk Pembuatan Rencana Keperawatan , Jakarta : EGC.
Anna Budi Keliat, SKp. (2000). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sosial Menarik Diri, Jakarta ; Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia..
Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan KeluargaKonsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API). Jakarta : fajar Interpratama.
Stuart and Sundeen, ”Buku Saku Keperawatan Kesehatan Jiwa”, alih bahasa Hapid AYS, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
———–, (1998). Buku Standar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Penerapan Asuhan Keperawatan pada Kasus di Rumah Sakit Ketergantungan Obat. Direktorat Kesehatan Jiwa Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Dep-Kes RI, Jakarta.
www.erfanhiyandi.blogspot.com/askep_isolasi sosial.html. (di akses 13 Mei 2009)

Kamis, 13 Januari 2011

Hiperbarik Chambers cutek_on7



Awal mulai HBOT
Terapi hiperbarik mungkin baru segelintir orang yang mengenalnya. Di Indonesia, pemanfaatna HBOT pertama kali  oleh Lakesla yang bekerja sama dengan RS Angkatan Laut Dr. Ramelan, Surabaya, tahun 1960.  Hingga saat ini fasilitas tersebut masih merupakan yang paling besar di Indonesia. Sementara di tempat lain telah tersedia pula fasilitas terapi oksigen hiperbarik, diantaranya adalah RSAL Dr Mintohardjo Jakarta, RSAL Halong Ambarawa, RSAL Midiato, RSP Balikpapan, RSP Cilacap, RSU Makasar, RSU Manado, RSU Sangla Denpasar, dan Diskes Koarmabar.

Dasar dari terapi hiperbarik sedikit banyak mengandung prinsip fisika. Teori Toricelli yang mendasari terapi digunakan untuk menentukan tekanan udara 1 atm adalah 760 mmHg. Dalam tekanan udara tersebut komposisi unsur-unsur udara yang terkandung di dalamnya mengandung Nitrogen (N2) 79 % dan Oksigen (O2) 21%. Dalam pernafasan kita pun demikian. Pada terapi hiperbarik oksigen ruangan yang disediakan mengandung Oksigen (O2) 100%. Terapi hiperbarik juga berdasarkan teori fisika dasar dari hukum-hukum Dalton, Boyle, Charles dan Henry.

Sedangkan prinsip yang dianut secara fisiologis adalah bahwa tidak adanya O2 pada tingkat seluler akan menyebabkan  gangguan kehidupan pada semua organisme. Oksigen yang berada di sekeliling tubuh manusia masuk ke dalam tubuh melalui cara pertukaran gas. Fase-fase respirasi dari pertukaran gas terdiri dari fase ventilasi, transportasi, utilisasi dan diffusi. Dengan kondisi tekanan oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler yang menopang kehidupan suatu organisme mendapatkan kondisi yang optimal.

Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) adalah terapi medis dimana pasien dalam suatu ruangan menghisap oksigen tekanan tinggi (100%) atau pada tekanan barometer tinggi (hyperbaric chamber). Kondisi lingkungan dalam HBOT bertekanan udara yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan tubuh (1 ATA). Keadaan ini dapat dialami oleh seseorang pada waktu menyelam atau di dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) yang dirancang baik untuk kasus penyelaman maupun pengobatan penyakit klinis. Individu yang mendapat pengobatan HBOT adalah suatu keadaan individu yang berada di dalam ruangan bertekanan tinggi (> 1 ATA) dan bernafas dengan oksigen 100%. Tekanan atmosfer pada permukaan air laut sebesar 1 atm. Setiap penurunan kedalaman 33 kaki, tekanan akan naik 1 atm. Seorang ahli terapi hiperbarik, Laksma Dr. dr. M. Guritno S, SMHS, DEA yang telah mendalami ilmu oksigen hiperbarik di Perancis selama 5 tahun menjelaskan bahwa terdapat dua jenis dari terapi hiperbarik, efek mekanik dan fisiologis. Efek fisiologis dapat dijelaskan melalui mekanisme oksigen yang terlarut plasma. Pengangkutan oksigen ke jaringan meningkat seiring dengan peningkatan oksigen terlarut dalam plasma.

Mekanisme HBOT

HBOT memiliki mekanisme dengan memodulasi nitrit okside (NO) pada sel endotel. Pada sel endotel ini HBOT juga meningkatkan intermediet vaskuler endotel growth factor (VEGF). Melalui siklus Krebs terjadi peningkatan NADH yang memicu peningkatan fibroblast. Fibroblast yang diperlukan untuk sintesis proteoglikan dan bersama dengan VEGF akan memacu kolagen sintesis pada proses remodeling, salah satu tahapan dalam penyembuhan luka.

Mekanisme di atas berhubungan dengan salah satu manfaat utama HBOT yaitu untuk wound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang mengalami edema dan infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar. Daerah edema ini mengalami kondisi hipo-oksigen karena hipoperfusi. Peningkatan fibroblast sebagaimana telah disinggung sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi pada daerah edema tersebut. Jadilah kondisi daerah luka tersebut menjadi hipervaskular, hiperseluler dan hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan tinggi, terjadi peningkatan IFN-γ, i-NOS dan VEGF. IFN- γ menyebabkan TH-1 meningkat yang berpengaruh pada B-cell sehingga terjadi pengingkatan Ig-G. Dengan meningkatnya Ig-G, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada luka, HBOT berfungsi menurunkan infeksi dan edema..

Adapun cara HBOT pada prinsipnya adalah diawali dengan pemberianO2 100%, tekanan 2 – 3 Atm . Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompresion sickness. Maka akan terjadikerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia sekitar luka. Kondisi ini akan memicu meningkatnya fibroblast, sintesa kolagen, rasio RNA/DNA, peningkatan leukosit killing, serta angiogenesis yang menyebabkan neovaskularisasi jaringan luka. Kemudian akan terjadi peningkatan dan perbaikan aliran darah mikrovaskular. Densitas kapiler meningkat sehingga daerah yang mengalami iskemia akan mengalami reperfusi. Sebagai respon, akan terjadi peningkatan NO hingga 4 – 5 kali dengan diiringi pemberian oksigen hiperbarik 2-3 ATA selama 2 jam. Hasilnya pun cukup memuaskan, yaitu penyembuhan jaringan luka. Terapi ini paling banyak dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus dimana memiliki luka yang sukar sembuh karena buruknya perfusi perifer dan oksigenasi jaringan di distal.

Indikasi-indikasi lain dilakukannya HBOT adalah untuk mempercepat penyembuhan penyakit, luka akibat radiasi, cedera kompresi, osteomyelitis, intoksikasi karbonmonoksida, emboli udara, gangren, infeksi jaringan lunak yang sudah nekrotik, Skin graft dan flap, luka bakar, abses intrakranial dan anemia.

Prosedur pemberian HBOT yang dilakukan pada tekanan 2-3 ATA-90 dengan O2 intermitten akan mencegah keracunan O2. Menurut Paul Bert, efeksamping biasanyaakan mengenai sistem saraf pusat seperti timbulnya mual, kedutan pada otot muka dan perifer serta kejang. Sedang menurut Lorrain Smith, efek samping bisamengenai paru-paru yaitu batuk, sesak dan nyeri substernal.

HBOT Meningkatkan Sensitivitas Radioterapi
Penanganan kanker pada umumnya melalui tahapan terapi operasi, radioterapi, kemoterapi dan hormonal. Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, oksigen hiperbarik dan herbal merupakan salah satu pilihan untuk meningkatkan sensitifitas efek radioterapi sehingga dapat membantu menekan angka kematian dan meningkatkan angka harapan hidup. Rumkital Dr. Ramelan Surabaya telah memiliki Instalasi Radioterapi dan Oksigen yang merupakan bagian dari unggulan fasilitas kesehatan.

Penelitian hubungan tekanan oksigen dengan radioterapi pada manusia sudah dimulai sejak tahun 1910 oleh Deche. Sedangkan menurut Guritno, yang pada saat diwawancarai masih menjabat sebagai direktur RSAL Dr Ramelan Surabaya, HBOT bermanfaat untuk meningkatkan sensitivitas sel tumor pada radioterapi. Karena pada kondisi hipoksia sensitifitas sel tumor menurun, sehingga dengan HBOT yang meningkatkan perfusi. Dengan demikian akan tercipta kondisi hiperoksia yang menyebabkan sensitifitas sel tumor meningkat. HBOT tentunya juga akan bermanfaat pada healing injury post radioterapi.

Studi dan telaah dilakukan seorang ahli HBOT muda, dr. Arie Widiyasa Sp.OG, Kabag KESLA RSAL Ilyas Tarakan, mengenai pengaruh HBOT terhadap kanker serviks. Kombinasi antara radiasi baik eksternal atau brachiterapi atau keduanya yang dikombinasikan dengan pemberian HBOT akan meningkatkan radiosensitivitas sel kanker serviks. Salah satu modalitas yang dapat dikembangkan saat ini adalah terapi dengan menggunakan oksigen bertekanan tinggi diberikan dengan tekanan 2,0 ATA, 2,4 ATA atau 3 ATA sebanyak 20 – 30 kali dapat dipertimbangkan walau harus tetap mempertimbangkan untung ruginya tindakan tersebut. HBOT dapat memperbaiki sensitivitas sel tumor, meningkatkan persentase angka survival rate, tak jelas dapat mencegah rekurensi atau menurunkan angka kematian. Dengan demikian komplikasi pemberian radioterapi dosis tinggi dapat dicegah sebelum kerusakan menjadi berat dan irreversibel.

Manfaat pada Pasien Post Radioterapi
Dewasa ini terapi radiasi dinilai cukup efektif untuk menangani beberapa kasus kanker yang tidakoperable. Namun efek samping radiasi yang bersifat sistemik agaknya sulit untuk dihindari. Contohnya pada radioterapi pelvis yang akan menyebabkan rusaknya epitel, parenkim, stroma, vaskuler rektum dan berujung pada terbentuknya striktur dan fistula. Sayangnya pula terapi yang dilakukan terhadap efek samping tersebut sering tidak berhasil sehingga akan terjadi kerusakan komplek serta terbentuknya mediator yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, kemotaksis, demam, rasa sakit dan kerusakan jaringan. American Society for Therapeutic Radiology and Oncologymembuat sistem scoring efek samping akut dan efek samping lama.

Menurut Dr. dr. Suyanto Sidik Sp.PD, ahli HBOT dari RSAL Dr. Mintohardjo, radioterapi akan memberikan efek samping seperti rusaknya epitel, parenkim, dan vaskuler dari tubuh. Manifestasi yang paling sering adalah timbulnya struktur dan fistel. Pada umumnya setelah 6 bulan akan terjadi hipoksia, hipovaskuler dan hiposeluler pada jaringan yang terpapar radiasi. Celakanya terapi efek samping ini seringkali gagal karena kerusakan komplek pada jaringan. Terdapat gangguan permeabilitas pembuluh darah, kemotaksis yang disertai manifestasi klinis demam dan nyeri. Terapinya tentu saja adalah dengan meningkatkan aliran darah ke daerah yang hipovaskuler tersebut. Jadi mekanisme penyembuhan luka untuk post radiasi adalah meningkatkan vaskularisasi, memperbaiki fungsi epitel, meningkatkan VEGF, mengatur sintesis dan lisis kolagen. HBOT meningkatkan aktivasi arginin yang berefek pada kolagen sintesis, dan mensupport kontraksi otot.

Sebagai contoh pengobatan HBOT pada injury radiasi dengan proktitis radiasi sebagai model. Efek samping dari terapi radiasi pada karsinoma rongga pelvis adalah proktitis radiasi. Efek samping ini bermanifestasi tergantung dari dosis, fraksinasi, luas dan teknik radiasi. Adanya riwayat radioterapi pelvis biasanya ditandai dengan gejala : sakit perut, diare, anorexia, dan mual. Pada pemeriksaan rekto-sigmoidokopi didapatkan erythema, edema, teleangiektasis, erosi, bahkan ulkus. Pada pemeriksaan PA diketahui adanya sebukan sel radang diikuti gambaran histologik lamina propia terhialinisasi, sub mucosa fibrotik, ektasia vaskuler, nekrosis fibrinoid yang dibandingkan dengan pembuluh darah fibroblas atipik. Gejala yang merupakan manifestasi dari efek samping akut ini biasanya muncul dengan frekuensi 50 – 70 %. Sedangkan efek samping lanjutan umumnya bermanfest dengan sakit perut, tenesmus, dan hematochezia. Gejala efek samping jenis ini biasanya hanya timbul 2,5 – 25 %. Efek yang lebih berat lagi apabila gejala efek samping tersebut disertai dengan diare lendir dan darah.

Pada kanker nasofaring yang mendapat radioterapi, HBOT dapat berguna untuk pencegahan terjadinyamandibular necrosis. Pada kanker leher rahim dan kanker prostat yang mendapat radioterapi HBOT bisa untuk prevensi radiosistitis. Pasien Face-off, Lisa, yang sempat menghebohkan dunia bedah plastik sebelum ini, sempat membuat pusing para dokter yang merawatnya karena kecenderungan nekrosis flap hasil pemindahan. Atas saran Guritno, Lisa akhirnya diterapi HBOT, dan hasilnya cukup baik. Kulit yang sebelumnya ditakutkan akan nekrosis menjadi pulih kembali.


Terapi oksigen hiperbarik adalah suatu terapi dimana penderita akan dimasukkan ke dalam suatu tabung yang terbuat dari plat baja atau aluminium alloy yang diisi dengan oksigen murni pada tekanan atmosfer tertentu.



Penggunaan hiperbarik oksigen untuk pengobatan suatu penyakit sudah lama digunakan, dan perkembangannya sangat pesat di beberapa negara.
Terapi ini menjadi dikenal di Indonesia, pada saat bencana alam Tsunami Aceh, atau bencana gempa di Bantul, dimana banyak orang yang terancam diamputasi kakinya karena tertimpa bangunan atau luka yang parah. Terapi oksigen hiperbarik terbukti ampuh sebagai terapi penunjang (selain terapi obat oleh dokter) yang dapat menghindarkan dari ancaman amputasi organ tubuh.

Selain itu terapi oksigen hiperbarik dapat mengobati penyakit degeneratif kronis seperti arterio sclerosis, stroke, penyakit pembuluh darah perifer, ulser diabetik, serebral palsy, trauma otak, slerosis multiple dan penyembuhan luka. Terapi ini meluas pemakaiannya sebagai terapi kebugaran tubuh dan untuk kecantikan sebagai terapi supaya awet muda.

Di Indonesia perkembangannya diawali dengan keberadaan instalasi ruang kompresi pada saat dibangunnya Graving dock, di Ujung, Surabaya yang digunakan untuk mengobati penderita dekompresi. Sampai saat ini fasilitas hiperbarik tersedia di beberapa rumah sakit di Indonesia terutama rumah sakit TNI AL dan rumah sakit yang berhubungan dengan pertambangan :

- RS PT Arun, Aceh;

- RSAL Dr Midiyatos, Tanjung Pinang;
- RSAL Dr Mintohardjo, Jakarta;
- RS Pertamina Cilacap;
- RS Panti Waluyo, Solo;
- Lakesla TNI AL, Surabaya;
- RSU Sanglah, Denpasar;
- RS Pertamina Balikpapan;
- RSU Makasar;
- RS Gunung Wenang, Manado;
- RSAL Halong, Ambon;
- RS Petromer, Sorong.

Terapi Oksigen hiperbarik pertamakali oleh Behnke 1930 digunakan untuk rekompresi (mengembalikan tekanan) para penyelam untuk menghilangkan simptom penyakit dekompresi (Caisson’s Disease) setelah menyelam. Penyakit dekompresi adalah penyakit yang terjadi karena perubahan tekanan. Misalnya saat kita menyelam atau kalo kita naik pesawat terbang tekanan naik), akan terjadi pelepasan dan mengembangnya gelembung2 gas dalam organ. Jika kita kembali ke tekanan awal, maka akan terjadi perubahan tekanan yang dapat menganggu fungsi beberapa organ tubuh / penyakit dekompresi.

Pemakaian Oksigen Hiperbarik dikembangkan sebagai komplemen terhadap efek radiasi pada perawatan kanker oleh Churchill Davidson pada tahun 1950 selain dikenal sebagai perawatan penunjang selama pembedahan jantung, perawatan gas gangrene klostridial, dan perawatan terhadap keracunan karbon monoksida. Oksigen hiperbarik mulai dikenal untuk menunjang penyembuhan luka pada tahun 1965 pada korban luka akibat ledakan pada tambang minyak dengan keracunan karbon monoksida diketahui dengan penggunaan oksigen hiperbarik, penyembuhan terjadi lebih cepat.

Terapi oksigen hiperbarik dilakukan pada suatu ruang hiperbarik (Hyperbaric chambers) yang dibedakan menjadi 2 yaitu : Multiplace dan Monoplace. Multiple chamber dapat digunakan untuk beberapa penderita pada waktu yang bersamaan, sedangkan pada monoplace digunakan untuk pengobatan satu orang penderita saja .Tidak perlu penggunaan masker atau sarung tangan dalam chamber kecuali pada kasus keracunan karbon monoksida atau inhalasi asap. Di dalam ruangan, chamber  penderita dapat melakukan aktivitas apa saja seperti mendengarkan musik, membaca, atau bahkan senam aerobik. Hehehe. Untuk Penelitian, hewan coba pun bisa dimasukkan chamber.

Dosis Perawatan oksigen Hiperbarik yaitu dengan memberikan tekanan 100 % oksigen yang lebih besar dari tekanan oksigen murni secara terus menerus pada tubuh, dengan tekanan sebesar 2 atmosphere absolute (ATA) sampai 3 ATA. Untuk perawatan luka khusus bagi kecelakaan penyelaman, kasus yang menggunakan hiperbarik oksigen pertamakali, membutuhkan tekanan 100% oksigen selama 90 menit pada kedalaman 45 feet of sea water (fsw) – 13.7m of sea water (msw) or 1.38 bar atau sesuai dengan 2,36 (ATA). Dosis yang digunakan pada perawatan HBOT tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman untuk pasien dengan status debil selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan diatas 2,5 ATA mempunyai efek imunosupresif.

Pada kebanyakan perawatan, waktu setiap sesi HBOT adalah 90 menit sampai 120 menit sekali  sampai dua kali dalam sehari isesuaikan dengan kondisi jaringan serta perawatan yang diperlukan. Biasanya sebagai terapi dibutuhkan 10 sesi perawatan ( untuk kebugaran tubuh dan kecantikan ) atau lebih sesuai dengan kondisi.

Perawatan HBOT berfungsi untuk :
1. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh, bahkan pada aliran darah yang berkurang
2. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang.
3. Menyebabkan pelebaran arteri rebound sehingga meningkatkan diameter pembuluh darah, dibanding pada permulaan terapi.
4. Merangsang fungsi adaptif pada peningkatan superoxide dismutase (SOD), merupakan salah satu anti oksidan dalam tubuh untuk pertahanan terhadap radikal bebas dan bertujuan mengatasi infeksi dengan meningkatkan kerja sel darah putih sebagai antibiotic pembunuh kuman.

Untuk biaya, cukup murah kok. Sekitar Rp 1.300.000,- untuk sepuluh kali sesi pertemuan. Mau coba?

Asuhan Keperawatan Dengan Klien Diabetes Mellitus cutek_on7

ASKEP DIABETES MELLITUS

  1. Definisi
Diabetes Mellitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, demham tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya  insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000 ).
Gangren adalah proses atau keadaan  yang ditandai dengan adanya jaringan mati atau nekrosis, namun secara mikrobiologis adalah proses nekrosis yang disebabkan oleh infeksi. ( Askandar, 2001 ).
Gangren Kaki Diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang atau besar di tungkai. ( Askandar, 2001).
  1. Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar  5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa  dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan  embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
(1). Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
(2). Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m, sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
(1). Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.
(2). Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
(3). Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang  normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh  dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.
  1. Etiologi
    1. Diabetes Melitus
DM mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas DM. Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi DM yaitu :
  1. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta melepas insulin.
  2. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan.
  3. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai pembentukan sel – sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel – sel penyekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.
  4. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran sel yang responsir terhadap insulin.
  1. Gangren Kaki Diabetik
Faktor – faktor yang berpengaruh atas terjadinya gangren kaki diabetik dibagi menjadi endogen dan faktor eksogen.
Faktor endogen : a. Genetik, metabolik
b. Angiopati diabetik
c. Neuropati diabetik
Faktor eksogen :  a. Trauma
b. Infeksi
c. Obat
4. Patofisiologis
a. Diabetes Melitus
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut:
  1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200 mg/dl.
  2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.
  3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
Pasien – pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yng parah yang melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat  menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.
Hiperglikemia yang lama  akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.
b. Gangren Kaki Diabetik
Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat hiperglikemia, yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi.
  1. Teori Sorbitol
Hiperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara normal  melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah menjadi sorbitol. Sorbitol akan tertumpuk dalam sel / jaringan tersebut dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.
2. Teori Glikosilasi
Akibat hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada semua protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi pada protein membran basal dapat menjelaskan semua komplikasi baik makro maupun mikro vaskular.
Terjadinya Kaki Diabetik (KD) sendiri disebabkan oleh faktor – faktor disebutkan dalam etiologi. Faktor utama yang berperan timbulnya KD adalah angiopati, neuropati dan infeksi. Neuropati merupakan faktor penting untuk terjadinya KD. Adanya neuropati perifer akan menyebabkan terjadinya gangguan sensorik maupun motorik. Gangguan sensorik akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi otot kaki, sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan ulsetrasi pada kaki pasien. Angiopati akan menyebabkan terganggunya  aliran darah  ke kaki. Apabila sumbatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka  penderita akan merasa sakit tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Manifestasi gangguan pembuluh darah yang lain dapat berupa : ujung kaki terasa dingin, nyeri kaki di malam hari, denyut arteri hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikkan. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen (zat asam) serta antibiotika sehingga menyebabkan luka sulit sembuh (Levin,1993). Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai KD akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor angiopati dan infeksi berpengaruh terhdap penyembuhan atau pengobatan dari KD.
5. Klasifikasi
Wagner (1983) membagi gangren kaki diabetik menjadi enam tingkatan , yaitu :
Derajat 0       : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan
disertai kelainan bentuk kaki seperti “ claw,callus “.
Derajat I       : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
Derajat II      : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
Derajat III     : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
Derajat IV    : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.
Derajat V      : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.
Sedangkan Brand (1986) dan Ward (1987) membagi gangren kaki menjadi dua golongan :
  1. Kaki Diabetik akibat Iskemia ( KDI )
Disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya makroangiopati ( arterosklerosis ) dari pembuluh darah besar ditungkai, terutama di daerah betis.
Gambaran klinis KDI :
-   Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat.
-   Pada perabaan terasa dingin.
-   Pulsasi pembuluh darah kurang kuat.
-   Didapatkan ulkus sampai gangren.
  1. Kaki Diabetik akibat Neuropati ( KDN )
Terjadi kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi. Klinis di jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, oedem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.
6. Dampak masalah
Adanya penyakit gangren kaki diabetik akan mempengaruhi kehidupan individu dan keluarga. Adapun dampak masalah yang bisa terjadi meliputi :
  1. Pada Individu
Pola dan gaya hidup penderita akan berubah dengan adanya penyakit ini, Gordon telah mengembangkan 11 pola fungsi kesehatan yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan tersebut.
  1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gangren kaki diabetik  terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak   gangren kaki diabetuk sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
  1. Pola nutrisi dan metabolisme
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan  penderita.
  1. Pola eliminasi
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine ( glukosuria ). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.
  1. Pola tidur dan istirahat
Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka dan situasi rumah sakit yang ramai akan mempengaruhi waktu tidur dan istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita mengalami perubahan.
  1. Pola aktivitas dan latihan
Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada tungkai bawah menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita  mudah mengalami kelelahan.
  1. Pola hubungan dan peran
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita malu dan menarik diri dari pergaulan.
  1. Pola sensori dan kognitif
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma.
  1. Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga ( self esteem ).
  1. Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan kualitas maupun  ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.
10.  Pola mekanisme stres dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif  berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif.
11.  Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita.
  1. Dampak pada keluarga
Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan muncul bermacam –macam reaksi psikologis dari kelurga, karena masalah kesehatan yang dialami oleh seorang anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Waktu perawatan yang lama dan biaya yang banyak akan mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga dan perubahan peran pada keluarga karena salah satu anggota keluarga tidak dapat menjalankan perannya.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DM
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangren kaki diabetik hendaknya dilakukan secara komperhensif dengan menggunakan proses keperawatan.
Proses keperawatan adalah suatu metode sistematik untuk mengkaji respon manusia terhadap masalah-masalah dan membuat rencana keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah – masalah tersebut. Masalah-masalah kesehatan dapat berhubungan dengan klien keluarga juga  orang terdekat atau masyarakat. Proses keperawatan mendokumentasikan kontribusi perawat dalam mengurangi / mengatasi masalah-masalah  kesehatan.
Proses keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
  1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu :
  1. Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita , mengidentifikasikan,  kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapt diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan   fisik, pemerikasaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
  1. Anamnese
    1. Identitas penderita
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
  1. Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka.
  1. Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
  1. Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit  lain yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas.  Adanya riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
  1. Riwayat kesehatan keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
  1. Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.
  1. Pemeriksaan fisik
    1. Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda – tanda vital.
  1. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh.
  1. Sistem integumen
Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban dan shu kulit di daerah  sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku.
  1. Sistem pernafasan
Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi infeksi.
  1. Sistem kardiovaskuler
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau   berkurang, takikardi/bradikardi, hipertensi/ hipotensi, aritmia, kardiomegalis.
  1. Sistem gastrointestinal
Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas.
  1. Sistem urinary
Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih.
  1. Sistem muskuloskeletal
Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas.
  1. Sistem neurologis
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi.
  1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :
  1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200 mg/dl, gula darah puasa >120 mg/dl dan dua jam post prandial > 200 mg/dl.
  1. Urine
Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict ( reduksi ). Hasil dapat dilihat melalui perubahan warna pada urine : hijau ( + ), kuning ( ++ ), merah ( +++ ), dan merah bata  ( ++++ ).
  1. Kultur pus
Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis kuman.
  1. Analisa Data
Data yang sudah terkumpul selanjutnya dikelompokan dan dilakukan analisa serta sintesa data. Dalam mengelompokan data dibedakan atas data subyektif dan data obyektif dan berpedoman pada teori Abraham Maslow yang terdiri dari :
  1. Kebutuhan dasar atau fisiologis
  2. Kebutuhan rasa aman
  3. Kebutuhan cinta dan kasih sayang
  4. Kebutuhan harga diri
  5. Kebutuhan aktualisasi diri
Data yang telah dikelompokkan tadi di analisa sehingga dapat diambil kesimpulan tentang masalah keperawatan dan kemungkinan penyebab, yang dapat dirumuskan dalam bentuk diagnosa  keperawatan meliputi aktual, potensial, dan kemungkinan.
  1. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas terhadap proses kehidupan/ masalah kesehatan. Aktual atau potensial dan kemungkinan dan membutuhkan  tindakan keperawatan untuk memecahkan masalah tersebut.
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien gangren kaki diabetik adalah sebagai berikut :
  1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan melemahnya / menurunnya aliran darah  ke daerah gangren akibat adanya  obstruksi pembuluh darah.
  2. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas.
  3. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.
  4. Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka.
  5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang.
  6. Potensial terjadinya penyebaran infeksi ( sepsis ) berhubungan dengan tingginya kadar gula darah.
  7. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
  8. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
  9. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota tubuh.
10.  Ganguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
  1. Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka intervensi dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan, dan mencegah masalah keperawatan penderita. Tahapan ini disebut perencanaan keperawatan yang meliputi penentuan prioritas, diagnosa keperawatan, menetapkan sasaran dan tujuan, menetapkan kriteria evaluasi dan merumuskan intervensi dan aktivitas keperawatan.
  1. Diagnosa no. 1
Gangguan perfusi berhubungan dengan melemahnya/menurunnya aliran darah ke daerah gangren akibat adanya obstruksi pembuluh darah.
Tujuan : mempertahankan sirkulasi  perifer tetap normal.
Kriteria Hasil : – Denyut nadi perifer teraba kuat dan reguler
- Warna kulit sekitar luka tidak pucat/sianosis
- Kulit sekitar luka teraba hangat.
- Oedema tidak terjadi dan luka tidak bertambah parah.
- Sensorik dan motorik membaik
Rencana tindakan :
  1. Ajarkan pasien untuk melakukan mobilisasi
Rasional : dengan mobilisasi meningkatkan sirkulasi darah.
  1. Ajarkan tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan aliran darah  :
Tinggikan kaki sedikit lebih rendah  dari jantung  ( posisi elevasi pada waktu istirahat ), hindari penyilangkan kaki, hindari balutan ketat, hindari penggunaan bantal, di belakang lutut dan sebagainya.
Rasional : meningkatkan melancarkan aliran darah balik sehingga tidak terjadi oedema.
  1. Ajarkan tentang modifikasi faktor-faktor resiko berupa :
Hindari diet tinggi kolestrol, teknik relaksasi, menghentikan kebiasaan merokok, dan penggunaan obat vasokontriksi.
Rasional : kolestrol tinggi dapat mempercepat terjadinya arterosklerosis, merokok dapat menyebabkan terjadinya  vasokontriksi pembuluh darah, relaksasi untuk mengurangi efek dari stres.
  1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain dalam pemberian vasodilator, pemeriksaan gula darah secara rutin dan terapi oksigen ( HBO ).
Rasional : pemberian vasodilator akan meningkatkan dilatasi pembuluh darah sehingga perfusi jaringan dapat diperbaiki, sedangkan pemeriksaan gula darah secara rutin dapat mengetahui perkembangan dan keadaan pasien, HBO untuk memperbaiki oksigenasi daerah ulkus/gangren.
  1. Diagnosa no. 2
Ganguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas.
Tujuan : Tercapainya proses penyembuhan luka.
Kriteria hasil :               1.Berkurangnya oedema sekitar luka.
2. pus dan jaringan berkurang
3. Adanya jaringan granulasi.
4. Bau busuk luka berkurang.
Rencana tindakan :
  1. Kaji luas dan keadaan luka serta proses penyembuhan.
Rasional : Pengkajian yang tepat terhadap luka dan proses penyembuhan akan membantu dalam menentukan tindakan selanjutnya.
  1. Rawat luka dengan baik dan benar  : membersihkan luka secara abseptik menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan yang menempel pada luka dan nekrotomi jaringan yang mati.
Rasional : merawat luka dengan teknik aseptik, dapat menjaga kontaminasi luka dan larutan yang iritatif akan merusak jaringan granulasi tyang timbul, sisa balutan jaringan nekrosis dapat menghambat proses granulasi.
  1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian insulin, pemeriksaan  kultur pus  pemeriksaan gula darah pemberian anti biotik.
Rasional : insulin akan menurunkan kadar gula darah, pemeriksaan kultur pus untuk mengetahui jenis kuman dan anti biotik yang tepat untuk pengobatan, pemeriksaan kadar gula darahuntuk mengetahui perkembangan penyakit.
  1. Diagnosa no. 3
Ganguan rasa nyaman ( nyeri ) berhubungan dengan iskemik jaringan.
Tujuan : rasa nyeri hilang/berkurang
Kriteria hasil :  1.Penderita secara verbal mengatakan nyeri berkurang/hilang .
2. Penderita dapat melakukan metode atau tindakan untuk mengatasi atau mengurangi nyeri .
3. Pergerakan penderita bertambah luas.
4. Tidak ada keringat dingin, tanda vital dalam batas normal.( S : 36 – 37,5 0C, N: 60 – 80 x /menit, T : 100 – 130 mmHg, RR : 18 – 20 x /menit ).
Rencana tindakan :
  1. Kaji tingkat, frekuensi, dan reaksi nyeri yang dialami pasien.
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.
  1. Jelaskan pada pasien tentang sebab-sebab timbulnya nyeri.
Rasional : pemahaman pasien tentang penyebab nyeri yang terjadi akan mengurangi ketegangan pasien dan memudahkan pasien untuk diajak bekerjasama dalam melakukan tindakan.
  1. Ciptakan lingkungan yang tenang.
Rasional : Rangasanga yang berlebihan dari lingkungan akan memperberat rasa nyeri.
  1. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.
Rasional : Teknik distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien.
  1. Atur posisi pasien senyaman mungkin sesuai keinginan pasien.
Rasional : Posisi yang nyaman akan membantu memberikan kesempatan pada otot untuk relaksasi seoptimal mungkin.
  1. Lakukan massage dan kompres luka dengan BWC saat rawat luka.
Rasional :  massage dapat meningkatkan vaskulerisasi dan pengeluaran pus sedangkan BWC sebagai desinfektan yang dapat memberikan rasa nyaman.
  1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
Rasional : Obat –obat analgesik dapat membantu mengurangi nyeri pasien.
  1. Diagnosa no. 4
Keterbatasan mobilitas fisik berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
Tujuan : Pasien dapat mencapai tingkat kemampuan aktivitas yang optimal.
Kriteria Hasil :  1.  Pergerakan paien bertambah luas
2. Pasien dapat melaksanakan aktivitas sesuai dengan kemampuan ( duduk, berdiri, berjalan ).
3. Rasa nyeri berkurang.
4. Pasien dapat memenuhi kebutuhan sendiri secara bertahap sesuai dengan kemampuan.
Rencana tindakan :
  1. Kaji dan identifikasi tingkat kekuatan otot pada kaki pasien.
Rasional : Untuk mengetahui derajat  kekuatan otot-otot  kaki pasien.
  1. Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan aktivitas untuk menjaga kadar gula darah dalam keadaan normal.
Rasional : Pasien mengerti pentingnya aktivitas sehingga dapat kooperatif dalam tindakan keperawatan.
  1. Anjurkan pasien untuk menggerakkan/mengangkat ekstrimitas bawah sesui kemampuan.
Rasional : Untuk melatih otot – otot kaki sehingg berfungsi dengan baik.
  1. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.
Rasional : Agar kebutuhan pasien tetap dapat terpenuhi.
  1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain : dokter ( pemberian analgesik ) dan tenaga fisioterapi.
Rasional : Analgesik dapat membantu mengurangi rasa nyeri, fisioterapi untuk melatih pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan benar.
  1. Diagnosa no. 5
Gangguan pemenuhan nutrisi ( kurang dari ) kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi
Kriteria hasil :    1. Berat badan dan tinggi badan ideal.
2. Pasien mematuhi dietnya.
3. Kadar gula darah dalam batas normal.
4. Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia.
Rencana Tindakan :
  1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.
Rasional : Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.
  1. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.
Rasional : Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya hipoglikemia/hiperglikemia.
  1. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.
Rasional : Mengetahui perkembangan berat badan pasien ( berat badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet ).
  1. Identifikasi perubahan pola makan.
Rasional : Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan.
  1. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian insulin dan diet diabetik.
Rasional : Pemberian insulin akan meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam jaringan sehingga gula darah menurun,pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat penurunan gula darah dan mencegah komplikasi.
  1. Diagnosa no. 6
Potensial terjadinya penyebaran infeksi ( sepsis) berhubungan dengan tinggi kadar gula darah.
Tujuan : Tidak terjadi penyebaran infeksi (sepsis).
Kriteria Hasil :  1. Tanda-tanda infeksi tidak ada.
2. Tanda-tanda vital dalam batas normal ( S : 36 – 37,5 0C )
3. Keadaan luka baik dan kadar gula darah normal.
Rencana tindakan :
  1. Kaji adanya tanda-tanda penyebaran infeksi pada luka.
Rasional : Pengkajian yang tepat tentang tanda-tanda penyebaran infeksi dapat membantu menentukan tindakan selanjutnya.
  1. Anjurkan kepada pasien dan keluarga untuk selalu menjaga kebersihan diri selama perawatan.
Rasional : Kebersihan diri yang baik merupakan salah satu cara untuk mencegah infeksi kuman.
  1. Lakukan perawatan luka secara aseptik.
Rasional  : untuk mencegah kontaminasi luka dan penyebaran infeksi.
  1. Anjurkan pada pasien agar menaati diet, latihan fisik, pengobatan yang ditetapkan.
Rasional : Diet yang tepat, latihan fisik yang cukup dapat meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan yang tepat, mempercepat penyembuhan sehingga memperkecil kemungkinan terjadi penyebaran infeksi.
  1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotika dan insulin.
Rasional : Antibiotika dapat menbunuh kuman, pemberian insulin akan menurunkan kadar gula dalam darah sehingga proses penyembuhan.
  1. Diagnosa no. 7
Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
Tujuan : rasa cemas berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :  1. Pasien dapat mengidentifikasikan sebab kecemasan.
2. Emosi stabil., pasien tenang.
3. Istirahat cukup.
Rencana tindakan :
  1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.
Rasional : Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.
  1. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.
Rasional : Dapat meringankan beban pikiran pasien.
  1. Gunakan komunikasi terapeutik.
Rasional : Agar terbina rasa saling percaya antar perawat-pasien sehingga pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan.
  1. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut serta dalam tindakan keperawatan.
Rasional : Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.
  1. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.
Rasional : Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang dirasakan pasien.
  1. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara   bergantian.
Rasional : Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.
  1. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Rasional : lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas pasien.
  1. Diagnosa no. 8
Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil : 1. Pasien mengetahui tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.
2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.
Rencana Tindakan :
  1. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit DM dan gangren.
Rasional : Untuk memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu mengetahui sejauh mana informasi atau pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga.
  1. Kaji latar belakang pendidikan pasien.
Rasional : Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.
  1. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.
Rasional : Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
  1. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan pasien didalamnya.
Rasional : Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan yang dilakukan, pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.
  1. Gunakan gambar-gambar dalam memberikan penjelasan ( jika ada / memungkinkan).
Rasional : gambar-gambar dapat membantu mengingat penjelasan yang telah diberikan.
  1. Diagnosa no. 9
Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota tubuh.
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu anggota tubuhnya secar positif.
Kriteria Hasil : -  Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan. Tanpa rasa malu dan rendah diri.
-  Pasien yakin akan kemampuan yang dimiliki.
Rencana tindakan :
  1. Kaji perasaan/persepsi pasien tentang perubahan gambaran diri berhubungan dengan keadaan anggota tubuhnya yang kurang berfungsi secara normal.
Rasional : Mengetahui adanya rasa negatif pasien terhadap dirinya.
  1. Lakukan pendekatan dan bina hubungan saling percaya dengan pasien.
Rasional : Memudahkan dalm menggali permasalahan pasien.
  1. Tunjukkan rasa empati, perhatian dan penerimaan pada pasien.
Rasional : Pasien akan merasa dirinya di hargai.
  1. Bantu pasien untuk mengadakan hubungan dengan orang lain.
Rasional : dapat meningkatkan kemampuan dalam mengadakan hubungan dengan orang lain dan menghilangkan perasaan terisolasi.
  1. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan kehilangan.
Rasional : Untuk mendapatkan dukungan dalam proses berkabung yang normal.
  1. Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan hargai pemecahan masalah yang konstruktif dari pasien.
Rasional : Untuk meningkatkan perilaku yang adiktif dari pasien.
  1. Diagnosa no.10
Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri pada luka di kaki.
Tujuan : Gangguan pola tidur pasien akan teratasi.
Kriteria hasil : 1. Pasien mudah tidur dalam waktu 30 – 40 menit.
2. Pasien tenang dan wajah segar.
3. Pasien mengungkapkan dapat beristirahat dengan cukup.
Rencana tindakan :
  1. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat membantu meningkatkan tidur/istirahat.
  1. Kaji tentang kebiasaan tidur pasien di rumah.
Rasional : mengetahui perubahan dari hal-hal yang merupakan kebiasaan pasien ketika tidur akan mempengaruhi pola tidur pasien.
  1. Kaji adanya faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain seperti cemas, efek obat-obatan dan suasana ramai.
Rasional : Mengetahui faktor penyebab gangguan pola tidur yang lain dialami dan dirasakan pasien.
  1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pengantar tidur dan teknik  relaksasi .
Rasional : Pengantar tidur akan memudahkan pasien dalam jatuh dalam tidur, teknik relaksasi akan mengurangi ketegangan dan rasa nyeri.
  1. Kaji tanda-tanda kurangnya  pemenuhan kebutuhan tidur pasien.
Rasional : Untuk mengetahui terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tidur pasien akibat gangguan pola tidur sehingga dapat diambil tindakan yang tepat.
  1. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah tahap pelaksananan terhadap rencana tindakan keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama pasien. Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, disamping itu juga dibutuhkan ketrampilan interpersonal, intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi  yang tepat dengan  selalu memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Setelah selesai implementasi, dilakukan dokumentasi yang meliputi intervensi yang sudah dilakukan dan bagaimana respon pasien.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi ini adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan.
Perawat mempunyai tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai:
  1. Berhasil : prilaku pasien sesuai pernyatan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan di tujuan.
  2. Tercapai sebagian : pasien menunujukan prilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan.
  3. Belum tercapai. : pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan prilaku yang diharapakan sesuai dengan pernyataan tujuan.